“KILAS BALIK KRISIS EKONOMI INDONESIA TAHUN
1997-1998 DAN ANALISIS EKONOMI INDONESIA TAHUN 1997-1998”.

KELAS:
1EB38
DOSEN
: IMMIFISKA .T.
NAMA KELOMPOK :
-
SANIA KARAMAN
-
JULISNA HUTAGALUNG
-
GUSTIANI PANGESTI
-
MARSHA SALSABILA
-
NIKEN PERMATA SARI
-
NADYA FACHRUNNISA
-
DEVYANA
SETYA PRATIWI
PEMBAHASAN
Kondisi Awal Krisis Ekonomi di Indonesia
Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar
tidak terduga datangnya, sama sekali tidak terprediksisebelumnya. Seperti
dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah
yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara
yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan
negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand
mulaimenunjukkan gejala krisis, orang umumnyapercaya bahwa Indonesia tidak akan
bernasibsama.
Fundamental ekonomi Indonesia dipercayacukup
kuat untuk menahan kejut eksternal ( external shock ) akibat kejatuhan
ekonomiThailand.Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia
tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar
negeriswasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan
kondisibagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk olehrasa percaya diri yang
berlebihan, bahkancenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi
maupun masyarakat perbankansendiri menghadapi besarnya serta persyaratanhutang
swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra
hati-hatidalam mengelola hutang pemerintah (atauhutang publik lainnya), dan
senantiasamenjaganya dalam batas-batas yang dapattertangani ( manageable ).
Akan tetapi untukhutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia,pemerintah
sama sekali tidak memilikimekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung,
barulah disadari bahwa hutangswasta tersebut benar -benar menjadi masalahyang
serius. Antara tahun 1992 sampai denganbulan Juli 1997, 85% dari penambahan
hutangluar negeri Indonesia berasal dari pinjamanswasta (World Bank, 1998). Hal
ini mirip denganyang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis.Dalam
banyak hal, boleh dikatakanbahwa negara telah menjadi korban
darikeberhasilannya sendiri. Mengapa demikian?Karena kreditur asing tentu
bersemangatmeminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara
yang memilikiinflasi rendah, memiliki surplus anggaran,mempunyai tenaga kerja
terdidik dalam jumlahbesar, memiliki sarana dan prasarana yangmemadai, dan
menjalankan sistem perdaganganterbuka.Daya tarik dari “ dynamic economies ’”
ini telahmenyebabkan net capital inflows atau arus modalmasuk (yang meliputi
hutang jangka panjang,penanaman modal asing, dan equity purchases )ke wilayah
Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari
US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).Sayangnya, banyaknya modal yang
masuktersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif,
seperti pertanian atauindustri, tetapi justru masuk ke pembiayaan.konsumsi,
pasar modal, dan khusus bagiIndonesia dan Thailand, ke sektor perumahan( real
estate ). Di sektor-sektor ini memang terjadiledakan ( boom) karena sebagian
dipengaruhi oleharus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerjaekspor yang
selama ini menjadi andalan ekonominasional justru mengalami perlambatan,
akibatapresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain,karena derasnya arus
modal yang masuk itu.Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yangtidak
dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapilebih mengandalkan koneksi politik, dan
seakan didukungoleh persepsi bahwa negara akan ikutmenanggung biaya apabila
kelak terjadikegagalan. Lembaga keuangan membuatpinjaman atas dasar perhitungan
aset yang telah“digelembungkan” yang pada gilirannyamendorong lagi terjadinya
apresiasi lebih lanjut(Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat darisistem yang
sering disebut sebagai “ cronycapitalism ”.
Moral hazard dan penggelembunganaset
tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman(1998), adalah suatu strategi “kalau
untung akuyang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung( heads I win tails
somebody else loses)”. Ditengah pusaran ( virtous circle) yang semakin hari
makin membesar ini, lembaga keuanganmeminjam US dollar, tetapi menyalurkan
pinjamannya dalam kurs lokal(Radelet andSachs 1998). Yang ikut memperburuk
keadaan adalah batas waktu pinjaman ( maturity ) hutangswasta tersebut
rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktupinjaman
sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang
yangharus dilunasi dalam tempo kurang dari satutahun adalah sebesar US$20,7
milyar (WorldBank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan
masalahdi atas, adalah banyaknya kelemahan dalamsistem perbankan di Indonesia.
Dengankelemahan sistemik perbankan tersebut,masalah hutang swasta eksternal
langsungberalih menjadi masalah perbankan dalam
negeri.Ketika liberalisasi sistem
perbankan diberlakukanpada pertengahan tahun 1980-an, mekanismepengendalian
danpengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidakmampu mengikuti cepatnya
pertumbuhan sektorperbankan. Yang lebih parah, hampir tidak adapenegakan hukum
terhadap bank-bank yangmelanggar ketentuan, khususnya dalam kasuspeminjaman ke
kelompok bisnisnya sendiri,konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu,
danpelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktuyang bersamaan banyak sekali
bank yangsesunguhnya tidak bermodal cukup(undercapitalized) atau kekurangan
modal, tetapitetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti,ketika nilai rupiah
mulai terdepresiasi, sistemperbankan tidak mampu menempatkan dirinyasebagai
“peredam kerusakan”, tetapi justrumenjadi korban langsung akibat neracanya
yangtidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin
tidakjelasnya arah perubahan politik, maka isutentang pemerintahan otomatis
berkembangmenjadi persoalan ekonomi pula.Hill (1999) menulis bahwa banyaknya
pihak yangmemiliki vested interest dengan intrik-intrikpolitiknya yang menyebar
ke mana-mana telahmenghambat atau menghalangi gerak pemerintah,untuk mengambil
tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, invetor asing
danpelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalumengeluhkan kurangnya
transparansi, danlemahnya perlindungan maupun kepastianhukum.Persoalan ini
sering dikaitkan dengantingginya “ biaya siluman” yang harus dikeluarkanbila
orang melakukan kegiatan bisnis di sini.
Anehnya, selama Indonesia menikmati
economicboom persepsi negatif tersebut tidak terlalumenghambat
ekonomiIndonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam,maka segala kelemahan
itu muncul menjadipenghalang bagi pemerintah untuk mampumengendalikan krisis.
Masalah ini pulalah yangmengurangi kemampuan kelembagaanpemerintah untuk
bertindak cepat, adil, danefektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi“krisis
kepercayaan” yang ternyata menjadipenyebab paling utama dari segala
masalahekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibatkrisis kepercayaan itu,
modal yang dibawa lari keluar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi
politiktelah makin menghangat akibat krisis ekonomi,dan pada gilirannya
memberbesar dampak krisisekonomi itu sendiri .Faktor ini merupakan hal yang
paling sulitdiatasi. Kegagalan dalam mengembalikanstabilitas
sosial-politiktelah mempersulit kinerja ekonomi dalammencapai momentum
pemulihan secara mantapdan berkesinambungan.Meskipun persoalan perbankan
dan hutang swast menjadi penyebab dari
krisis ekonomi, namun,kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalahpenyebab
lambatnya pemulihan krisis di Indonesia.Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak
mungkindicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dankepercayaan pasar tidak
mungkin pulih tanpastabilitas politik dan adanya permerintahan yangterpercaya
(credible).
Tahun 1998 menjadi saksi bagi
tragediperekonomian bangsa. Keadaannya berlangsungsangat tragis dan tercatat
sebagai periode palingsuram dalam sejarah perekonomian Indonesia.Mungkin dia
akan selalu diingat, sebagaimanakita selalu mengingat black Tuesday
yangmenandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29Oktober 1929 yang juga disebut
sebagai malaise.Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatisterjadi.Prestasi
ekonomi yang dicapai dalam duadekade, tenggelam begitu saja. Dia jugasekaligus
membalikkan semua bayangan indahdan cerah di depan mata menyongsong mileniumketiga.Selama
periode sembilan bulan pertama 1998,tak pelak lagi merupakan periode paling
hirukpikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudahberjalan enam bulan selama
tahun1997,berkembang semakin buruk dalam tempocepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secaranyata oleh masyarakat, dunia usaha.Dana Moneter Internasional
(IMF) mulai turuntangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidakbisa segera
memperbaiki stabilitas ekonomi danrupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali,
bagailayang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomiIndonesia bahkan tercatat
sebagai yang terparahdi Asia Tenggara.Seperti efek bola salju, krisis yang
semula hanyaberawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2Juli 1997, dalam
tahun 1998 dengan cepatberkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjutlagi krisis
sosial kemudian ke krisis politik.Akhirnya, dia juga berkembang menjadi
krisistotal yang melumpuhkannyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa.
Katakan, sektor apa dinegara ini yangtidak goyah. Bahkan kursi atautahta mantan
Presiden Soeharto pun goyah,danakhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto,selama
sisa hidupnya akan mengutuk devaluasibaht, yang menjadi pemicu semua itu.Efek
bola saljuFaktor yang mempercepat efek bola salju iniadalah menguapnya dengan
cepat kepercayaanmasyarakat, memburuknya kondisi kesehatanPresiden Soeharto
memasuki tahun1998,ketidakpastian suksesi kepemimpinan,sikap plin-plan pemerintah
dalam pengambilan kebijakan.
besarnya utang luar negeri yang segera
jatuhtempo, situasi perdagangan internasional yangkurang menguntungkan, dan
bencana alam LaNina yang membawa kekeringan terburuk dalam50 tahun
terakhir.Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yangmencapai 138 milyar
dollar AS, sekitar 72,5milyar dollar AS adalah utang swasta yang duapertiganya
jangka pendek, di mana sekitar 20milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun.
1998. Sementara pada saat itu cadangan
devisatinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.Terpuruknya kepercayaan ke titik
nol membuatrupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar ASpada tahun 1997,
meluncur dengan cepat kelevel sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari1998,
atau terdepresiasi lebih dari 80 persensejak mata uang,tersebut diambangkan
14Agustus 1997.Rupiah yang melayang, selain akibatmeningkatnya permintaan
dollar untuk membayarutang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angkaRAPBN 1998/
1999 yang diumumkan 6 Januari1998 dan dinilai tak realistis.Krisis yang membuka
borok-borok kerapuhanfundamental ekonomi ini dengan cepatmerambah ke semua
sektor. Anjloknya rupiahsecara dramatis, menyebabkan pasar uang danpasar modal
juga rontok, bank-bank nasionaldalam kesulitan besar dan peringkat
internasionalbank-bank besar bahkan juga surat utangpemerintah terusmerosot ke
level di bawah junkatau menjadi sampah.Puluhan, bahkan ratusanperusahaan, mulai
dariskala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.Sekitar 70persen lebih
perusahaan yang tercatatdi pasar modal juga insolvent atau nota benebangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama
adalahsektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,sehingga melahirkan
gelombang besarpemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguranmelonjak ke level
yang belum pernah terjadisejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orangatau
20 persen lebih dari angkatan kerja.Akibat PHK dan naiknya harga-harga
dengancepat ini, jumlah penduduk di bawah gariskemiskinan juga meningkat
mencapai sekitar 50persen dari total penduduk. Sementara si kayasibuk menyerbu
toko-toko sembako dalamsuasana kepanikan luar biasa, khawatir hargaakan terus
melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai
1.155dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapitatahun 1997, menciut
menjadi 610 dollar/kapitatahun 1998, dan dua dari tiga pendudukIndonesia
disebut Organisasi Buruh Internasional(ILO) dalam kondisi sangat miskin pada
tahun1999 jika ekonomi tak segera membaik.Data Badan Pusat Statistik juga
menunjukkan,perekonomian yang masih mencatatpertumbuhan positif 3,4 persen pada
kuartalketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997,terus menciut tajam menjadi
kontraksi sebesar7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persenkuartal II 1998,dan
17,9 persen kuartal III 1998.Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998sudah
54,54 persen,dengan angka inflasiFebruari mencapai 12,67 persen.Di pasar
modal,Indeks Harga Saham Gabungan(IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke
titikterendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998,dari 467,339 pada awal
krisis 1 Juli 1997.Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226
trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awalJuli 1998.Di pasar uang, dinaikkannya
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8persen dan Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU)menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing
10,87 persen dan 14,75 persen pada awalkrisis), menyebabkan kesulitan bank
semakin memuncak. Perbankan mengalami negativespread dan tak mampu menjalankan
fungsinyasebagai pemasok dana ke sektor riil.Di sisi lain, sektor ekspor yang
diharapkan bisamenjadi penyelamat di tengah krisis,ternyatasama terpuruknya dan
tak mampu memanfaatkanmomentum depresiasirupiah, akibat beban
utang,ketergantungan besar pada komponen impor,kesulitantrade financing, dan
persaingan ketat dipasar global.
BAB 4
Isi
KILAS BALIK KRISIS
EKONOMI 1997-1998
KRISIS KEUANGAN ASIA DI INDONESIA
Krisis Keuangan Asia dimulai pada tanggal 2 Juli 1997 ketika pemerintah
Thailand yang saat itu dibebani dengan utang luar negeri yang amat besar,
memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan yang dilakukan
oleh para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa
negaranya. Pergeseran moneter ini bertujuan untuk merangsang pendapatan
ekspor namun strategi ini terbukti sia-sia. Sehingga dengan cepat hal ini
menimbulkan efek penularan ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing
- yang telah menanamkan uang mereka di 'Asian Economic Miracle
countries' ('Ekonomi-Ekonomi Asia yang Ajaib’) sejak satu dekade
sebelum tahun 1997 - kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan membuang mata-mata
uang dan aset-aset Asia secepat mungkin.
AWAL KRISMON DI INDONESIA
Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para
investor asing awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat
Indonesia untuk bertahan dalam badai krisis
keuangan (seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan
1980-an). Tapi kali ini tidak dapat lepas dari krisis dengan
mudah. Indonesia menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini
tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan
menyeluruh terhadap sistem politik dan keadaan sosial di Indonesia.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis
nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat
berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke
krisis politik. Pada saat mata uang baht Thailand mulai melemah
terhadap dollar AS maka dua puluh hari kemudian, 21 Juli 1997 pelemahan baht
tersebut menular ke Indonesia, Rupiah melemah 7 persen terhadap dollar AS. Pada
1 September 1997, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi untuk meresponsnya.
Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat,
rupiah diputuskan untuk diambangkan bebas (float freely) sejak
bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi yang sangat
signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30 persen
dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun sebelum
tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar
negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam mata uang dolar, dan utang sektor
swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk
meledak. Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara
drastis.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga
menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang
yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui
sangat lemah) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa
menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di
Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi
krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan
dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.
IMF DATANG TAPI KEKACAUAN
MASIH TETAP BERLANGSUNG
Pada 8 Oktober, pemerintah meminta bantuan
Dana Moneter Internasional (IMF). Dua puluh hari kemudian, 28 Oktober, pasar
modal anjlok, yang dikenal sebagai ”Selasa Hitam”. Pada 31 Oktober, pemerintah
menandatangani perjanjian dengan IMF berikut fasilitas pinjaman siaga 38 miliar
dollar AS.
Tindak lanjut dari kesepakatan itu, 16 bank
dilikuidasi pada 1 November. Pada 3 November, pemerintah kembali mengumumkan
paket kebijakan ekonominya.
IMF tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar
USD $43 milyar untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah
Indonesia. Sebagai imbalannya IMF menuntut beberapa langkah-langkah
reformasi keuangan yang mendasar: penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi
pangan dan energi, dan menyarankan agar Bank Indonesia untuk menaikkan suku
bunga. Akan tetapi paket reformasi ini ternyata gagal. Likuidasi 16 bank
pada 1 November (beberapa diantaranya dikendalikan oleh kroni
Presiden Suharto) memicu penarikan
dana besar-besaran pada bank-bank lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan,
sehingga membatasi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank
Indonesia untuk memberikan kredit dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih
ada untuk mencegah krisis perbankan yang semakin parah.
Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase
yang dimiliki Suharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga merusak
program IMF. Sistem patronase ini adalah alat yang dijalankan oleh Suharto
untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan
keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh
(sehingga menjadi kroni). Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap
Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan
oleh El Nino (sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk)
dan peningkatan spekulasi tentang memburuknya kesehatan Suharto (sehingga
menyebabkan adanya ketidakpastian politik). Maka, secara bertahap, Indonesia
sedang menuju terjadinya krisis politik.
Kesepakatan kedua dengan IMF diperlukan karena ekonomi masih tetap saja
memburuk. Pada bulan Januari 1998 rupiah kehilangan setengah nilainya hanya
dalam rentang waktu lima hari saja dan ini menyebabkan masyarakat berusaha
menimbun makanan. Kesepakatan kedua dengan IMF ini berisi 50 pokok program
reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial, penghapusan secara
perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan menghentikan sistem
patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang dijalankan oleh sejumlah
kroninya. Namun, keengganan Suharto untuk melaksanakan program reformasi
struktural ini dengan patuh justru menambah buruk situasi. Di sisi lain IMF dikritik
karena dinilai terlalu memaksakan banyak program reformasi dalam waktu yang
terlalu singkat sehingga memperburuk perekonomian Indonesia. IMF memang membuat
kesalahan pada saat melakukan pendekatan awal dalam krisis Indonesia namun
lembaga ini akhirnya menyadari bahwa kunci utama untuk mengatasi krisis adalah
untuk memulai kembali aliran modal swasta ke Indonesia. Agar hal ini terwujud
maka sistem patronase harus dipecah.
PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:
|
1996
|
1997
|
1998
|
Pertumbuhan
PDB
(persentase perubahan tahunan) |
8.0
|
4.7
|
-13.6
|
Pertumbuhan
Inflasi
(persentase perubahan tahunan) |
6.5
|
11.6
|
65.0
|
Sumber:
Hill, H. (2000). The Indonesian Economy, h. 264
Kesepakatan ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan April 1998.
Perekonomian Indonesia dan indikator-indikator sosial masih menunjukkan
tanda-tanda mengkhawatirkan. Namun kali ini IMF lebih fleksibel dalam
tuntutannya dibandingkan sebelumnya. Misalnya, subsidi pangan yang besar untuk
rumah tangga berpenghasilan rendah diberikan dan defisit anggaran dibiarkan
melebar. Akan tetapi IMF juga menyerukan privatisasi perusahaan milik
negara, tindakan cepat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, pembuatan
hukum kepailitan baru dan pengadilan baru untuk menangani kasus-kasus
kepailitan. IMF juga bersikeras untuk terlibat lebih dekat dalam memantau
pelaksanaan program-programnya karena pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya berkomitmen untuk melaksanakan agenda
reformasi.
Pokok-pokok dari program IMF adalah
sebagai berikut:
1.
Kebijakan
makro-ekonomi
1)
Kebijakan fiscal
2)
Kebijakan moneter dan
nilai tukar
2.
Restrukturisasi
sektor keuangan
1)
Program
restrukturisasi bank
2)
Memperkuat aspek
hukum dan pengawasan untuk perbankan
3.
Reformasi structural
1)
Perdagangan luar
negeri dan investasi
2)
Deregulasi dan
swastanisasi
3)
Social safety net
4)
Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai
hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum
pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu
matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya,
dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan
swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam
matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
1)
menstabilkan rupiah
pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2)
memperkuat dan
mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3)
memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan
berdaya saing;
4)
menyusun kerangka
untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5)
kembalikan
pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit
kembali.
Ke tujuh appendix
adalah masing-masing:
1)
Kebijakan moneter dan
suku bunga
2)
Pembangunan sektor
perbankan
3)
Bantuan anggaran
pemerintah untuk golongan lemah
4)
Reformasi BUMN dan
swastanisasi
5)
Reformasi structural
6)
Restrukturisasi utang
swasta
7)
Hukum Kebangkrutan
dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor
perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi
perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran
pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan
pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi
berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan
konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/ Kepala Bappenas
menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk
intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman,
rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki
cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri”
(Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang
dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini.
KRITIK TERHADAP IMF
Banyak kritik yang
dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis
moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa:
1)
program IMF terlalu
seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan
2)
program IMF terlalu
banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).
Radelet dan Sachs secara gamblang menyatakan bahwa bantuan IMF kepada
tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat
program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat
bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis,
sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu
pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja
negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun
anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh
bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk
menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk
menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi
yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999
terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena
kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah,
semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan
utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang
wajar.
J. Stiglitz, pemimpin
ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap
negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan
resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan
“konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu
pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan
ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan
bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS
yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF
bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya
untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah
untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal
1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%.
Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama
dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan
menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga
dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam
pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan
pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara
keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada
saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia
yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF
dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank
Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak
IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan
menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain
pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini
bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka
stabilitas nilai tukar dan inflasi. (Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman
kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter
yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last
resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga
ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank
yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari
tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada
otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah
keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke
bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis
likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir
14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar
yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF
bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat
ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya
yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada
tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya
secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan
Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan
ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan
menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1
milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket
bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara
cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan.
Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan
bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang
besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain
pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda
mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan
menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang
pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk
menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat,
menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,
dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan
petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998;
butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara
langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada
Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan
yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil
kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan
mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang
didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan
negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang
berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus
dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat,
tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat
mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegara maju yaitu membuka
peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan
dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang
harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia,
karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di
pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek
untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan
menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih
program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan
kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang
tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa
dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah
bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah
yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural
yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan
sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali
kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF
dan ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara
besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing
ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh
belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural
sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak
hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan
masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan
yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam
negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan
ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi
tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar
negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya
adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh
IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF,
sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti
permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan
dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi
duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing?
Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada
titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program
reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan
deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia
dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF
untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan
kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka
pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,
anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi
BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga
tahun sudah benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni
melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap
dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya
penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh
pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun
kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan
sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya
kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah,
apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa
bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi
dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara
bertahap dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998
disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang
banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan,
BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk
meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan
diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan
pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran
pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam
jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai
tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai
rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi.
Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang
masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan
masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya
krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak
sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya
produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut
naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS,
seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini
perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat
dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran
IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan
ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang
cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan
hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go
public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka
cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran,
dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi
pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme,
tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari
program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap
pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang
sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk
pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak
terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari
negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan.
Saran IMF lainnya
yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program
stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang- Undang
Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari
1998).
Ikut campurnya IMF
dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga
yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor luar negeri,
yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa
bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
KRISIS MENCAPAI PUNCAKNYA
Sementara itu, kekuatan-kekuatan sosial utama juga sedang bekerja. Aksi
demonstrasi dan kritik yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin
meningkat setelah ia terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet
baru pada bulan Maret 1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah
anggota yang berasal dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu
berbuat banyak untuk memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah
pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei,
kerusuhan berskala besar terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah
memberikan waktu kepada Suharto sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi
secara bertahap, ia memutuskan untuk melakukan semuanya sekaligus, mungkin
karena terlalu meremehkan dampaknya atau terlalu percaya diri dengan
kekuasaannya sendiri. Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang
mahasiswa Indonesia tewas pada waktu melakukan demonstrasi di sebuah
universitas lokal di Jakarta. Diduga penembakan tersebut dilakukan oleh pasukan
tentara khusus ('tragedi Trisakti'). Beberapa hari berikutnya Jakarta dilanda
kerusuhan sangat buruk. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa
- yang sudah lama dibenci karena dianggap kaya - banyak menjadi sasaran dalam
kerusuhan ini. Toko-toko dan rumah-rumah milik warga Tionghoa dibakar dan
banyak perempuan China diperkosa secara brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih
dari seribu orang tewas dan ribuan bangunan hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998
Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan ketika semua politisi
menolak untuk bergabung dengan kabinetbaru yang dibentuknya. Krisis keuangan
telah sepenuhnya berubah menjadi krisi sosial dan politik.
PENYEBAB KRISIS
EKONOMI
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia
di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia . Yang
dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca
pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan
cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan
perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang
menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian
sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan
yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan.
Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional.
Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu
dibendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu
menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang
selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas,
tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang
besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar
negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat
jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis
merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang
mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh
temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada
serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat
ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain
perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi
bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi
juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran
ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab
lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab
ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution
melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan
lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang
bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan Akumulasi utang swasta
luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari
total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh
tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang
luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
1.
Kelemahan pada sistim perbankan.
2.
Masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi
krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial
dengan cepat.
3.
Ketidak pastian
politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada
banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan
kejadiannya:
- Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas
tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat
mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas
dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah
yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk
orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di
dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam
negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan
di luar negeri.
- Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah,
berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga
1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah
secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan
penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin
lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang
overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga
barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik.
Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang
kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak
mencerminkan nilai tukar yang nyata.
- Akar dari segala permasalahan adalah utang
luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah
mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk
membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel
et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah
yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang
beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official
debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan
debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang
salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus
overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam
rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi
relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi
untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau
mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi
dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak
terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi
rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang
semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang
diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak
melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali
yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi
debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah
besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala
yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana
pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun
bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat
dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya.
Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati
dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF,
1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut
menanggung sebagian dari kerugian yang diderita olehdebitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800
perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara
utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri
swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa
hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar
negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran
utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh
kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan
nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak
dan menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
- Permainan yang dilakukan oleh spekulan yang
dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas
cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek
margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam
jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi
perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari
sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa
Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena
tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut
berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya
krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita
kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika
kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah
kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka
akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al.,hal.1).
Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
- Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten
dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini
menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang
tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal
14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah
yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1)
dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan
pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi
kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World
Bank, 1998: 1.10).
- Defisit neraca berjalan yang semakin membesar
(IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju
peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya
pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang
sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif
murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
- Penanam modal asing portfolio yang pada
awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar
yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian
mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank,
1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri
dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang
relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat
devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan
banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah
tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus
mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang
tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan
juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan
resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap
rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
- IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus
menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan
pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga
menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi
dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1
milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua
pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah
habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan
program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan
memperpanjang krisis.
- Spekulan domestik ikut bermain. Para spekulan
inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam
dana dari sistim perbankan untuk bermain.
- Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang
menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan
tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai
tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar
AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat
pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan
harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik
dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi
pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan
politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran
pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah
menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan
martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan
ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan
mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
- Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen
Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah
Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara
Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia
ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur
meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan
relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995
kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang
dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam
yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu
pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi
selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat
untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang
terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi
oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan
rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh
BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek
IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan
kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor
riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
KEADAAN EKONOMI
SEKARANG INI 2015
Dunia kembali diguncang krisis di tahun 2014 ini. Mata uang negara emerging market alias negara
berkembang tengah terjun bebas terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Akibatnya,
negara-negara berkembang terancam krisis keuangan. Pasar saham berjatuhan, nilai tukar rontok, harga minyak jatuh, suku
bunga naik. Kondisinya memang serupa tapi tak sama dengan krisis tahun 1998.
Pada tahun 1997/1998, negara-negara berkembang mengalami kejatuhan yang
dahsyat. Selain Asia, Venezuela juga terjatuh ke jurang krisis, sementara Rusia
masuk ke kondisi gagal bayar utang dan devaluasi. Apa yang terjadi pada tahun
2014 ini hampir sama. Namun, dampaknya tidak sedahsyat kondisi 16 tahun silam
karena telah terjadi sejumlah perubahan fundamental. Perbandingkan fakta-fakta
antara kondisi tahun 1998 dan 2014.
Persamaan
1.
Dari sisi kejatuhan
harga minyak mentah dunia.
Sejak Juni hingga penghujung tahun 2014, harga minyak tercatat merosot
hingga 48 persen menjadi USD 55 per barel. Kondisi itu langsung menghantam
negara-negara eksportir mulai dari Venezuela hingga Rusia dan Nigeria.
Menurut data yang dirangkumBloomberg, Credit
default swap (CDS) menunjukkan 97 persen kemungkinan Venezuela akan mengalami
gagal bayar utang dalam lima tahun. Perekonomian Rusia yang kini sedang terkena
sanksi dari AS dan Uni Eropa terkait konflik Ukraina diproyeksi akan mengalami
kontraksi 4,7 persen tahun 2015 jika harga minyak tetap USD 60 per barel.
2.
Dari sisi nilai tukar
mata uang.
BerdasarkanpenelusuranBloomberg terhadap20matauang emerging
market paling banyak diperdagangkan, terjadi penurunan ke titik
terendah sejak tahun 2003. Rubel tercatat merosot melewati level 64 per dolar
untuk pertama kalinya. Lira juga merosot ke titik terendahnya, sementara rupiah
terendah sejak tahun 1998.
Pada masa krisis finansial Asia tahun
1997 dan 1998, negara-negara Asia dari Thailand, Indonesia hingga Malaysia
harus berjuang mati-matian mempertahankan mata uangnya. Baht tercatat mengalami
kemerosotan paling besar, nilainya terpangkas hingga setengahnya dalam enam
bulan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa negara terkuras habis. Warga Korea
Selatan bahkan turun ke jalanan untuk mendonasikan perhiasan emasnya untuk
membantu pemerintah menambah cadangan devisa sehingga bisa membantu
mempertahankan mata uangnya.
3.
Kebijakan Bank
Sentral AS. Bank Sentral AS mulai bersiap untuk menaikkan suku bunga
untuk pertama kalinya sejak tahun 2006, sehingga mengancam arus modal
negara-negara berkembang. Bank Dunia tahun lalu memperkirakan bahwa aliran
modal swasta ke negara-negara berkembang bisa merosot hingga 50 persen
seandainya imbal hasil surat utang AS naik satu persen poin.
Credit Agricole CIB memperkirakan
negara-negara dengan defisit neraca berjalan besar termasuk Turki, Afrika
Selatan, dan Brasil sangat rentan. Demikian pula negara seperti Malaysia, yang
30 persen surat utang pemerintahnya dipegang investor asing. Serangkaian
kenaikan suku bunga AS pada pertengahan tahun 1990-an memicu kejatuhan mata
uang Asia yang membuat Rusia mengalami gagal bayar.
Perbedaan:
1)
Mata uang yang
fleksibel.
Negara-negara berkembang saat ini telah membiarkan mata uangnya
berfluktuasi. Sebelum krisis tahun 1998, kebanyakan negara berkembang mematok
mata uangnya. Kondisi ini jelas membuat pembedaan karena meski mata uang yang
melemah akan memicu inflasi, akan tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi karena membuat ekspor menjadi lebih murah.
2)
Cadangan devisa.
Pada saat krisis tahun 1998, cadangan devisa negara-negara berkembang
sangat sedikit sehingga sangat rentan untuk membantu meredam gejolak pasar.
Sementara saat ini, jumlah cadangan devisa sudah sangat kuat. Data yang
dikompilasi oleh IMF dan dikutip dari Bloomberg menunjukkan bahwa negara-negara
berkembang tercatat menguasai cadangan devisa hingga USD 8,1 triliun,
dibandingkan hanya USD 659 miliar pada tahun 1999.
Khusus untuk
Indonesia, cadangan devisa kini sudah mencapai USD 111,144 miliar.Jika
bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia saat krisis tahun 1998 yang hanya
sebesar USD 14,4 miliar.
3)
Jumlah utang.
Ketimbang meminjam dalam dolar, negara-negara di dunia kini lebih
memilih meminjam dalam mata uang lokal. Hal ini membawa keuntungan karena
mereka bisa membayar utang tanpa perlu menarik cadangan devisa. Utang luar
negeri di negara-negara berkembang tercatat sebesar 26 persen dari PDB pada
tahun 2013. Menurut data IMF, angka tersebut menunjukkan penurunan hingga 40
persen dibandingkan kondisi pada tahun 1999.
Utang pemerintah melegakan, tetapi
tidak demikian dengan utang swasta. Perusahaan-perusahaan di negara berkembang
tercatat menjual surat utang global hingga USD 375 miliar pada periode tahun
2009 hingga 2012. Jumlah itu menurut Bank for International Settlements
mencapai dua kali lipat dibandingkan kondisi empat tahun sebelum terjadinya
krisis finansial tahun 2008.
4)
Tingkat suku bunga.
Tingkat suku bunga di negara-negara berkembang naik, akan tetapi masih
lebih rendah dibandingkan level ketika krisis tahun 1998. Rusia menaikkan suku
bunga patokannya sebesar 6,5 persen poin menjadi 17 persen terhitung pada 16
Desember. Sejumlah suku bunga jangka pendek melonjak hingga 100 persen pada
tahun 1998.
Di Brasil, pembuat kebijakan menaikkan
suku bunga patokan menjadi 11,75 persen. Akan tetapi, tingkat suku bunga itu
masih setengah dari suku bunga pada tahun 1998. Demikian pula Indonesia yang
menahan suku bunga patokan di level 7,75 persen, dibandingkan pada tahun 1998
ketika suku bunga mencapai 60 persen.
Presiden Joko Widodo
(Jokowi) mengemukakan, terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir
ini, sebenarnya dari sisi fundamental ekonomi tidak banyak hal yang perlu
dikhawatirkan karena memang semua negara sekarang ini mendapatkan pelemahan
nilai tukarnya.
“Kita melihat bahwa
sebetulnya negara kita kalau dibandingkan dengan Jepang, Malaysia, apalagi
dengan Rusia, kita berada pada posisi yang masih sangat baik,” kata Jokowi saat
memimpin Rapat Terbatas Perekonomian di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/12).
Selain itu Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro juga mengatakan kepada para pewarta dalam
konferensi pers keterangan Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini, di Gedung
Frans Seda Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (10.3) bahwa peleman nilai rupiah di awal 2015 berbeda dengan saat krisis
ekonomi dan moneter 1998 silam.
"Kondisi sekarang (2015) berbeda dengan 1998, saat ini memang dolar
lagi menguat, ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan hanya rupiah (yang melemah)
tapi mata uang yang lainnya juga," kata Bambang berharap, masyarakat tidak
panik dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai level Rp13.000
per USD.
Berdasarkan kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai tukar rupiah melemah
terhadap dolar AS menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs beli) dibandingkan
dengan posisi kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun rupiah menguat terhadap
euro menjadi 14.211,98/14.068,60 dibanding posisi kemarin 14.218,65/14.072,49.
Nilai tukar rupiah juga menguat terhadap yen Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71
dibanding posisi kemarin sebesar 10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat
terhadap dolar Australia menjadi 10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai
kemarin sebesar 10.093,62/9.988,35.
Menurut Presiden, penguatan dolar AS harus menjadi peluang untuk
mendorong industri. “Harus diberikan insentif agar industri-industri yang
berorientasi ekspor itu bisa lebih cepat sehingga bisa mengambil keuntungan
dari posisi pelemahan nilai rupiah ini,” ujarnya.
Presiden Jokowi ingin
satu pikiran dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
agar pelemahan rupiah ini tidak ditanggapi dengan sebuah kecemasan atau
kekhawatiran yang tinggi.
“Semua negara
mengalami ini dan jangan dibandingkan dengan 1997 dan 1998 karena
keadaannya memang berbeda. Saya mengalami sendiri saat itu,” kata Jokowi.
KEADAAN EKONOMI DI INDONESIA PADA SAAT
INI 2015
.Jakarta, 10 Maret 2015 - Kondisi perekonomian global saat ini masih berada pada fase yang
penuh ketidakpastian, antara lain ditunjukan oleh koreksi proyeksi pertumbuhan
perekomian dunia oleh lembaga-lembaga internasional. Belum kondusifnya
perkembangan perekonomian di dunia antara lain diakibatkan oleh melemahnya
pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan berkembang, penurunan harga
komoditas, serta perbedaan arah kebijakan moneter dan fiskal di berbagai
kawasan.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS berada pada level Rp13.047 pada
penutupan perdagangan hari Senin tanggal 9 Maret 2015. Sehingga selama tahun
2015 Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dollar AS sebesar 4,81%
(ytd). Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut seiring dengan tren depresiasi
mata uang yang dialami oleh negara-negara lain, yang lebih disebabkan oleh
faktor eksternal antara lain penguatan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang
negara-negara lain sejalan dengan perbaikan perekonomian AS serta kebijakan
normalisasi moneter yang diambil oleh the US Fed.
Ditinjau dari indikator Real Effective Exchange Rate (REER), yang
mengukur kondisi perekonomian suatu negara dengan memperhatikan
pergerakan nilai tukar, pergerakan REER Indonesia masih sejalan dengan arah
pergerakan negara emerging markets lainnya. Posisi REER
Indonesia juga masih berada level yang cukup kompetitif, khususnya
dibandingkan dengan negara ASEAN-5.
Secara historis, berdasarkan data perekonomian Indonesia beberapa
tahun terakhir pada saat terjadi depresiasi rupiah seperti: krisis global
2008/2009 serta isu tapering off mulai bergulir, arus
FDI masih tetap masuk ke Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena
aktivitas investasi di Indonesia, baik asing maupun domestik, banyak yang
dikategorikan investasi mendukung konsumsi domestik.
Perlu digarisbawahi bahwa tren depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia
kali ini berbeda dengan kondisi pada saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan
krisis 2008-2009. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan
beberapa indikator lain seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) dan posisi
cadangan devisa menunjukan tren peningkatan, berbeda dibandingkan dengan
kondisi pada saat dua krisis terdahulu terjadi. Di samping itu untuk memitigasi
risiko eksternal yang berasal dari dinamika sektor keuangan global seperti
rencana kenaikan suku bunga The Fed, Pemerintah telah
menyiapkan beberapa langkah-langkah antisipasi sebagai berikut:
1.
Membentuk protokol
managemen krisis nasional di dalam wadah FKSSK yang beranggotakan Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin
Simpanan.
2.
Menyiapkan
implementasi Bond Stabilization Framework (BSF) dengan
beberapa lapisan pencegahan (lines of defense), di antaranya pembelian
kembali (buyback) sekuritas utang, penggunaan dana investasi BUMN, termasuk
BPJS serta Saldo Anggaran Lebih/SAL.
3.
Membentuk
beberapa currency swap line, antara lain di level bilateral (non-USD
denominated), di antaranya dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, dan di
level regional ASEAN+3 (non-USD denominated) melalui CMIM disertai
perjanjian pengumpulan cadangan devisa secara kolektif (pooled FX reserve).
4.
Menyiapkan Deferred
Draw Down Option (DDO) bekerja sama dengan World Bank, Asian
Development Bank, Australia serta Jepang (JBIC) senilai total USD 5 miliar yang
diperuntukan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian global terhadap
perekonomian Indonesia khususnya pembiayaan APBN.
Namun demikian, Pemerintah memahami bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah
terhadap dollar AS akan membawa dampak pada pelaksanaan APBN-P 2015. Utamanya,
pengaruh depresiasi akan menyebabkan penurunan defisit pada postur APBN-P 2015.
Seiring dengan depresiasi Rupiah, penerimaan negara akan lebih tinggi
dibandingkan dengan tambahan belanja yang harus dikeluarkan. Reformasi kebijakan
subsidi energi yang telah dilakukan oleh pemerintah membuat tekanan belanja
subsidi akibat pergerakan kurs menjadi berkurang. Di sisi lain, kebijakan
pemerintah yang lebih mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri serta
penerapan negative net flow untuk utang luar negeri membuat
tambahan belanja pembayaran bunga utang relatif terkendali.
Pemerintah juga menyadari tambahan kebijakan belanja infrastruktur
yang secara signifikan dilalokasikan di APBN-P 2015 berpotensi meningkatkan
risiko bagi current acccount melalui peningkatan
impor, namun Pemerintah memperkirakan defisit current account masih
akan managable dan sustainable pada level
sekitar 3%. Yang lebih penting lagi defisit current account yang
terjadi sekarang diakibatkan oleh kegiatan yang produktif, yaitu pembangunan
infrastruktur. Di samping itu di dalam jangka menengah panjang kebijakan
peningkatan belaja infrastruktur ini akan meningkatkan daya saing perekonomian
sehingga akan memberikan kontribusi bagi perbaikan current account.
Beberapa upaya yang akan dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki defisit
transaksi berjalan antara lain:
1.
Dalam rangka
meningkatkan daya saing produk dalam negeri, Pemerintah juga akan mengeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur fleksibilitas Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS),
sebagai respon jika terdapat lonjakan impor barang tertentu, serta
penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian.
2.
Dalam rangka
mendorong peningkatan investasi langsung baik dari penanaman modal asing (PMA)
maupun dalam negeri (PMDN), Pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan
Revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 yang biasa dikenal dengan tax allowance.
Fasilitas ini juga akan diberikan kepada dividen yang direinvestasi di
dalam negeri. Selain itu, prosedur pemberian tax allowance juga
dipermudah yaitu melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sebagian besar
proses akan dilakukan di PTSP tersebut sehingga diharapkan proses akan lebih
cepat.
3.
Mendorong kebijakan
peningkatan penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10%
menjadi lebih tinggi lagi, tentunya dengan memperhatikan ketersediaan supply serta
kebijakan harga yang kompetitif.
4.
Kebijakan lain yang
juga akan dikeluarkan adalah skema perpajakan khususnya PPN untuk
industri pelayaran dalam negeri agar bisa lebih kompetitif.
5.
Mendorong
terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya
asuransi.
6.
Meningkatkan Law
Enforcement untuk mendorong implementasi UU Mata uang yang mewajibkan
penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri.
7.
Mendukung kewajiban
penggunaan LC untuk transaksi empat komoditas utama.
8.
Memperbaiki sistem
remitansi untuk memudahkan arus masuk pendapatan orang Indonesia yang bekerja
di luar negeri ke dalam sistem perbankan dalam negeri.
Pemerintah telah melakukan langkah perbaikan penyehatan APBN untuk
mendukung stabilitas makroekonomi antara lain melalui defisit APBN yang dijaga
pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja APBN dibuat lebih produktif.
Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB berada pada kisaran 24% yang
merupakan tingkat yang aman dan rendah dibandingkan dengan negara lain.
BAB 4
ANALISIS
ANALISIS
Berdasarkan isi
dari krisis perekonomian diindonesia tahun 1998 kami dapat mengamati bahwa:
-
Akar dari semua
permasalahan ini adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya akumulasi utang
swasta luar negeri telah melebihi batas utang resmi pemerintah.
-
Kedua kesalahan
pemerintah dalam pengaturan kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai tidak
konsisten,tidak hanya itu ketidak mampuan pemerintah dalam mengatasi krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan
mengurangi kessedian investor asing untuk memberi bantuan dengan cepat.
BAB 5
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah dijabarkan di atasbisa disimpulkan bahwa kondis awal
krisisekonomi di Indonesia sama sekali tidakterprediksi . pemulihan krisis
ekonomi diIndonesia bisa di lakukan apabila Pelaksanaanagenda politik secara
aman, lancar, tertib dansesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyatmerupakan
keharusan, apabila semua ituterwujud ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya,bila
kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilutidak dapat dilaksanakan, maka
pemulihanekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.Oleh karena itu, keinginan
seluruh rakyatIndonesia yang menghendaki agar pemiluberlangsung jujur, adil,
transparan, sertademokratis harus benar-benar dilaksanakan dantidak bisa
ditawar-tawar lagi.
2.
Saran
1.
Seharusnya krisi ekonomi di Indonesia dapat diprediksi dari jauh-jauh hari
2.
Pemerintah seharusnya bersikap hati-hatidalam setiap menetapkan moneter
danmengetahui penyebab terjadinya krisis ekonomi.
3.Sebaiknya
pemerintah bersikap cermat danbertindak cepat dalam mencari solusi
untukmenanggulangin krisi ekonomi yang di landanegara IndonesiaMenurut anilisis
penulis, penyebabutama dari terjadinya krisis yang
Referensi:
ade-suyitno.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1